Seni membaca wajah sudah dikenal sejak dulu, dari zaman Tiongkok kuno, Yunani kuno, dan Romawi kuno. Seni membaca wajah ini dikenal dengan nama fisiognomi. Fisiognomi pertama kali disusun secara sistematis oleh Aristoteles, beliau mempelajari dan menafsirkanberbagai sifat dan karakter manusia melalui berbagai bentuk wajah, warna rambut, anggota badan, dan suara. Diantara para filsuf klasik latin yang melakukan praktik fisiognomi adalah Juvenal, Suetonius, dan Pliny De Elder.
Pada abad klasik di Yunani dan abad pertengahan, terdapat banyak sekali literatur mengenai sudah lamanya perkembangan ilmu ini. Bukti-buktinya terdapat dalam literatur klasik karya-karya Homer dan Hipokrates, bahwa fisiognomi merupakan bagian dari filsafat praktis paling kuno.
Fisiognomi klasik lebih bersifat deskriptif, studi-studi mengenai fisiognomi di abad pertengahan lebih menekankan pada sisi prediksi dan astrologi, dan bahkan seringkali bersifat ramalan atau firasat, yang dalam ilmu kejawen disebut ilmu titen, yaitu kebiasaan-kebiasaan masa lalu. Demikian halnya dengan penuli-penulis Arab, semisal ar-Razi dan Ibnu Rusdi, mereka juga memberi kontribusi pada literatur fisiognomi. Cendikiawan muslim bidang kesehatan, Ibnu Sina juga banyak menggunakan fisiognomi ini.
Karena fisiognomi sering digunakan sebagai ramalan, maka fisiognomi sering dihubungkan dengan ilmu astrologi. Seperti yang dilakukan oleh Lavater dalam studinya di bidang fisiognomi, dia mengarah pada pencarian jejak-jejak dari ramalan dalam sejarah kehidupan manusia. Fisiognomi diklaim ada hubungan dengan astrologi, karena antara bentuk wajah dengan sifat-sifat atau karakteristik psikologis tertentu, seringkali menemui keselarasan dengan keadaan alam waktu seseorang dilahirkan .
Pada abad ke-17 dan ke-19, fisognomi digunakan oleh beberapa praktisi, terutama aparat hukum, sebagai metode untuk mendeteksi kecendrungan kejahatan. Banyak orang fanatik dan rasionalis saat itu, yang menggunakan fisiognomi untuk menilai karakter dan kepribadian seseorang.
Belakangan, sekitar abad dua puluh, ilmu membaca wajah ini oleh Edward Vincent Jones dikembangkan menjadi ilmu modern. Dia adalah seorang hakim di California yang pertama kali mengaitkan ciri-ciri wajah dengan sifat karakter seseorang. Jones mencoba mencari indikator-indikator karakter dari bentuk wajah. Melalui berbagai observasi yang dilakukan secara berulang, dia mendapatkan sampel enam puluh empat bentuk fisik tertentu yang merupakan indikator kuat dari berbagai jenis karakter manusia. Dia menamakan karyanya personology, yang kemudian penelitiannya dilanjutkan oleh Robert Whiteside dan Wiliam Burtis pada tingkat yang lebih ilmiah.
Barbara Roberts, penulis buku "Face Reading: What Does Your Face Say?", juga tidak mau ketinggalan, ia melakukan riset selama 25 tahun. Ia adalah seorang perawat yang juga ingin menemukan sistem ilmiah untuk memahami karakter seseorang. Barbara menemukan 90 sampel ciri yang dapat dianalisis. Menurutnya, “Antara pikiran dan tubuh terdapat hubungan yang tak terbatas. Apa yang anda alami secara spiritual, emosional, dan mental akan terlihat dari bentuk wajah anda.
Tahun 1930-an, studi mengenai kepribadian mulai dikembangkan secara lebih luas, yakni yang berkaitan dengan kondisi sosial, kondisi daerah di mana seseorang tumbuh berkembang, dan tekanan-tekanan budaya dalam karakteristik kepribadian. Fisiognomi, dalam sudut pandang ini dianggap terlalu sederhana, karena karakteristik kepribadian seseorang seringkali merespons situasi-situasi atau budaya setempat dimana orang tersebut tumbuh. Jadi faktor lingkungan tempat tinggal pun, menjadi penentu membentuk karakter seseorang.
Paul Ekman, seorang psikolog Amerika, sekitar tahun 1960-an mengembangkan penelitian ilmu seni membaca wajah yang telah dilakukan sebelumnya. Dia menemukan bahwa wajah adalah instrument yang sangat efisien untuk komunikasi, dan dia beranggapan bahwa semestinya ada rumus-rumus yang mengatur cara untuk meng-interpretasi wajah. Ekman berpendapat bahwa ekspresi wajah adalah produk evolusi yang universal, ada pelajaran-pelajaran fundamental yang bisa dipelajari melalui wajah seseorang.
Untuk bisa membaca wajah seseorang dengan baik, banyak hal yang harus diketahui, bukan hanya pengetahuan dari literatur kuno dari abad-abad yang lalu, tetapi juga pengetahuan tentang kejiwaan seseorang (psikologi) dan berbagai ciri wajah yang berkaitan dengan budaya dan karakter daerah asalnya. Selain bidang hukum, sekarang ilmu fisiognomi telah banyak digunakan diberbagai bidang, bisnis dan marketing, rekrut karyawan, pendidikan, dan sebagainya. Juga telah banyak dipelajari beberapa perguruan tinggi ternama di dunia. Para mahasiswa mempelajari bagaimana mengidentifikasi dan menganalisis bentuk wajah dan bahasa tubuh, sehingga bisa tahu suasana hati dan kepribadian seseorang.
Sebagai praktek awal untuk bisa membaca karakter seseorang melalui wajah, tataplah bentuk wajah anda di cermin sesering mungkin. Pelajari photo-photo diri sendiri, cobalah mengingat bagaimana perasaan anda saat photo itu diambil, pelajari bentuk wajah anda dan bagaimana karakter anda sendiri. Kemudian kembangkan pada lingkungan terdekat, keluarga, teman-teman. Sebagai acuan, belilah buku mempelajari karakter seseorang dari bentuk wajah atau sejenisnya.
Semoga artikel ini bisa menginspirasi dan bermanfaat bagi sahabat pembaca.
Dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment